Keindahan Kodrati Manusia Adalah Keindahan Hati Nurani
Keindahan sejati berpancar ketika seseorang menjadikan hati
nurani yang cemerlang sebagai penguasa atas jasmaninya. Hati nurani
mengendalikan setiap ucap kata, setiap tindak perbuatan, setiap niat dan
pikiran. Bahkan pada setiap kerutan dahi dan senyuman; ataupun saat
kita berbicara, diam, bergerak, duduk, atau berbaring; saat bekerja,
baik di saat aktif maupun passif, saat mengantar atau menjemput tamu.
Jika sikap kita terhadap orang lain—kapan dan di manapun, baik dalam
urusan pribadi maupun kepentingan umum—senantiasa berada di bawah
kesadaran nurani, inilah manifestasi keindahan alam. Singkatnya,
keindahan kodrati manusia adalah keindahan dari pribadi Maitreyani,
Keindahan Ilahi, Keindahan kasih, Keindahan hati nurani, adalah
keindahan dari jiwa yang wajar dan asali. Keindahan kodrati manusia
terlihat dari bagaimana sikap kita dalam menggunakan mata untuk melihat,
terlihat dari bagaimana sikap kita saat menggunakan telinga untuk
mendengar, terlihat dari kata-kata yang keluar dari mulut kita, terus
berkembang dan menyebar melalui setiap tindak perbuatan yang kita
lakukan, terlihat dalam setiap benak dan pikiran kita, dan juga terlihat
dari bagaimana kita menggunakan hidung untuk membaui dan mulut untuk
mengecap makanan. Indahnya langit, bumi, laksa makhluk, dan sejuta benda
begitu menggugah, begitu memikat dan mengundang kerinduan. Semua ini
adalah karena langit, bumi, dan laksa makhluk tidak mementingkan diri
sendiri, tiada ego, tak pernah menganggap dirinya telah berjasa bagi
umat manusia. Mereka tak menuntut bayaran, tak mengharapkan balas jasa,
bahkan tak ingin dikenal, namun selamanya memberi dan menyumbang dalam
keheningan, tanpa keakuan. Demikian pula dengan keindahan kodrati
manusia yang begitu menggugah, begitu memikat, membangkitkan kekaguman
dan ketulusan dalam hati, karena keindahan kodrati manusia sejalan
dengan keindahan langit-bumi dan laksa makhluk. Kegagalan mewujudkan
keindahan kodrati telah mengakibatkan terbentuknya konsep hidup,
kehidupan dan gaya hidup yang keliru, yang kemudian melahirkan konsep
beragama yang ekstrim, konsep seni dan estetika yang menyimpang.
Kesalahan terbesar dalam kehidupan manusia adalah terjebak dalam
kurungan dua tembok baja konsep dualisme dunia, dan seumur hidup tak
mampu melepaskan diri darinya. Dua tembok baja dualisme ini telah
mengakibatkan terbelenggunya kehidupan, pola pandang, serta daya
estetika manusia. Manusia tak berdaya, tak dapat berkutik di dalamnya,
selamanya terkungkung tanpa pernah bebas! Perjalanan hidup manusia ke
depan pun hanya menjanjikan jeritan dan rintihan. Kapan manusia bisa
terbebas dari tembok dualisme dan jurang perbedaan yang dalam ini?
Buddha Maitreya telah menjadi teladan sempurna dalam mewujudkan
keindahan kodrati manusia dalam dirinya. Beliau sungguh menyadari bahwa
hanya dengan mewujudkan keindahan kodratinya, barulah seorang manusia
bisa mendapatkan kebahagiaan, sukacita, dan hidup yang sempurna, tidak
lagi menderita dan terbelenggu oleh perangkap dualisme. Karena terbebas
dari segala belenggu konsep dualisme dunia, maka langit, bumi, dan laksa
makhluk mampu menampilkan keindahan kodratinya. Tak ada dualisme bagi
langit, bumi, dan laksa makhluk, karena itu langit, bumi, dan laksa
makhluk bebas leluasa tidak terikat. Hina-mulia, mendapat-kehilangan,
pujian-cemoohan, penghargaan-fitnahan, mujur-malang, untung-rugi,
lancar-penuh rintangan, sukses-gagal, kaya-miskin, pintar-bodoh,
cantik-jelek, tinggi-rendah, kalah-menang, berhasil-putus asa,
keras-lembut, baik-buruk, dan lainnya, adalah perangkap dualisme dunia.
Dualisme telah menjadi sumber penyebab duka sekaligus halangan yang
terbesar dalam hidup manusia. Dari dulu hingga kini, noda hitam tanpa
obat penawar, sekaligus kesalahan yang paling sukar ditebus dalam
kehidupan manusia adalah bahwa manusia menjadikan kondisi dualis ini
sebagai segala-galanya dalam hidup mereka! Buddha Maitreya mengajarkan
bahwa semua dualisme dunia hanyalah suatu proses dalam menjalani
kehidupan, sama sekali bukan tujuan dari kehidupan itu sendiri.
Sesungguhnya dualisme bukanlah hal yang utama, melainkan hanyalah
kondisi pendukung dalam proses memwujudkan cahaya kehidupan. Dualisme
dunia hanyalah pernak-pernik kehidupan, bukan intisari dari hidup itu
sendiri. Jika kita terjerumus dalam perbedaan hina-mulia,
mendapatkan-kehilangan, untung-rugi, keberuntungan-kemalangan,
miskin-kaya, dan dualisme lainnya, maka kita akan hidup dalam
penderitaan, menghadapi nasib hidup yang tragis, hidup kita akan penuh
dengan pertikaian serta perebutan kepentingan. Harkat dan martabat yang
paling mulia dalam diri seorang manusia terletak pada kecemerlangan
Nurani. Yaitu saat manusia mampu mewujudkan panggilan nurani,
memancarkan keindahan kodrati dirinya untuk menguntungkan dan
mendatangkan kebahagian bagi seluruh dunia, bagi seluruh umat manusia,
untuk tanah air tercinta, dan bagi lingkungan sekitarnya. Sebaliknya,
nilai hidup menjadi hina dan nista apabila hati nurani tidak berpancar
cemerlang. Segala prilaku kita dapat membahayakan keselamatan dunia,
merusak stabilitas negara, mendatangkan malapetaka dan kerusakan pada
lingkungan sekitar, dan melukai sesama umat manusia. Terlebih, apabila
kita tidak memancarkan kecemerlangan Nurani, tak mampu menampilkan
keindahan kodrati sebagai seorang manusia, namun senantiasa dimuliakan
dan mendapatkan pujian, ini adalah suatu kekotoran terbesar dalam
kehidupan manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar